Indonesia salah satu negara yang memiliki
keanekragaman hayati (biodiversity)
yang tinggi, secara global negara kita merupakan rumah bagi 12% mamalia, 16%
reptil dan amfibi, 17% burung, 10% tanaman berbunga, serta 25% spesies ikan. Pada tulisan kita akan membahas salah satu biodiversitas
yang kita miliki, yaitu Tarsius.
Tarsius adalah primata dari genus Tarsius, suatu genus
monotipe dari famili Tarsiidae, satu-satunya famili yang bertahan dari ordo
Tarsiiformes. Satwa khas yang mendiami wilayah Sulawesi yang merupakan bagian
dari kawasan Wallacea adalah tarsius (tangkasi). Groves dan Shekelle (2010) menyatakan bahwa,
terdapat lebih dari 16 populasi tarsius di Sulawesi yang dapat digolongkan
menjadi spesies terpisah, namun, sampai saat ini hanya 9 species yang telah
diberi nama yaitu, Tarsius tarsier Erxleben
1777, Tarsius fuscus Fischer 1804, Tarsius sangirensis Meyer 1897, Tarsius dentatus Miller and Hollister
1921, Tarsius pelengensis Sody 1949, Tarsius lariang Merker and Groves 2006, Tarsius tumpara Shekelle et al. 2008, Tarsius wallacei Merker et al.
2010, Tarsius pumilus Miller and
Hollister 1921.
Tarsius (Tangkasi) merupakan primata terkecil biasa
disebut binatang hantu karena tampang seperti monyet kecil dengan mata bulat
merah dengan ukuran 10-15 cm sebesar kepalan tangan dewasa, memiliki ekor
berkisar 15-20 cm hingga berat badan dewasanya mencapai 120 gram. Tarsius aktif dimalam hari (nocturnal). Menurut penelitian tarsius banyak ditemukan
di kawasan di luar hutan lindung atau area perbatasan hutan antara hutan primer
dengan sekunder; hutan sekunder dengan perkebunan masyarakat serta areal
perladangan atau pertanian. Pohon tidur
atau sarang tarsius lebih banyak menempati jenis-jenis pohon Bambuseae sp., Ficus sp., Imperata
cylindrica, Arenga pinnata dan Hibiscus tiliaceus. Ketinggian pohon
tidur atau sarang tarsius berdasarkan penelitian di lapangan antara 0 sampai
dengan 20 m dari atas permukaan tanah serta lebih tergantung pada jenis
tumbuhan dan kondisi habitatnya. Tarsius termasuk hewan pemakan serangga (insectivoous) dan pemakan daging (Carnivorous) pada umumnya serangga
dimakan meliputi, belalang, walang nona, kupu-kupu, ngengat, jangkrik, kumbang,
kecoa dan laba-laba. Sedangkan daging biasanya dimakan yaitu cicak, kadal,
katak udang air tawar, ikan kecil dan kepiting kecil. Tarsius membentuk suatu
keluarga yang cukup besar, dari luasan hutan 1 hektar ditemukan rata-rata 3-5
kelompok tarsius, dengan jumlah individu pada tiap-tiap kelompok bervariasi
berkisar antara 2-8 ekor, pada satu pohon tidur/sarang yang ditemukan. Komposisi antara lain: jantan dewasa, beberapa
betina dewasa, anak remaja dan anak bayi. Status konservasi tarsius saat ini
merupakan satwa yang dilindungi berdasarkan Peraturan Perlindungan Binatang
Liar Tahun 1931 dan Peraturan Pemerintah No.7 Tahun 1999. Selain itu, satwa ini
termasuk ke dalam Appendiks II Convention
on International Trade in Endangered Species (CITES 2003) dan International Union for Conservation of
Nature memasukkan semua jenis tarsius pada beberapa kategori redlist dari vulnerable sampai critically
endangered sesuai dengan ketersediaan data dan keadaan populasinya (IUCN
2014). Hal ini dilakukan, karena
beberapa jenis tarsius sekarang ini memiliki status terancam (endangered), dikarenakan hilangnya
habitat, perburuan untuk diperdagangkan ataupun sebagai peliharaan.
(Ongky)
Bahan Bacaan:
Johanis KH. 2002. Studi tentang beberapa aspek
biologis tangkasi (Tarsius Spectrum)
Tangkoko Sulawesi Utara dalam upaya penangkaran. [Tesis]. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor
Shekelle M, Leksono M.
2004. Strategi Konservasi di
Pulau Sulawesi dengan Menggunakan Tarsius sebagai Flagship Spesies. Biota
Vol. IX (1): 1-10.
Sinaga W, Wirdateti, Iskandar E, Pamungkas J.
2012. Pengamatan Habitat, Pakan dan
Sarang Tarsius (Tarsius sp.) Wilayah Sebaran di Sulawesi Tengah dan Gorontalo
[OBSERVATION HABITAT, FEED AND NEST OF TARSIERS (Tarsius sp.) ON DISTRIBUTION
AREA IN CENTRAL SULAWESI AND GORONTALO]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar