Tips kala bertemu ular: cukup lakukan STOP
(silent, thinking, observation dan
prepare). Jangan panik, atau malah memprovokasi. Empat langkah itu
dijabarkan sebagai bersikap mematung, sambil meneliti apakah berbisa atau
tidak, memperhatikan lingkungan sekitar dan mencari alat bantu, serta
mempersiapkan langkah lanjutan.
Di Indonesia, kasus gigitan ular berbisa
masih tinggi. Bahkan, menempati urutan ke dua setelah HIV/AIDs dan kanker. Menurut World Health Organization (WHO), ada
5 juta kasus gigitan ular di dunia per tahun. Sekitar 2,7 juta digigit ular
berbisa. Sebanyak 81.000-138.000 gigitan ular menyebabkan kematian, dan 400.000
kecacatan.
Kalau kena gigit ular berbisa, pertolongan
pertama menurut WHO, pertama, pindahkan korban ke tempat aman. Kedua, imobilisasi
korban atau dibuat tidak bergerak sepenuhnya.
Kulit binatang melata ini berwarna biru, ekor merah. Bentuk kepala
segitiga. Ular ini bernama sunda pit viper (Trimeresurus
insularis). Ini salah satu jenis ular berbisa. Mesti terlihat cantik, hati-hati
kalau menjumpai ular ini.
“Sayangnya, banyak ingin memelihara dan
mengira ular ini tidak berbahaya. Bahkan, kini bisa dengan mudah membeli lewat
online. Jangan buat mainan,” kata Aji Rachmat, dari Sioux Ular Indonesia,
yayasan yang mendedikasikan pada edukasi dan penyelamatan ular. Sunda pit viper, salah satu ular berbisa yang
sering ditemui di Indonesia, terutama di Bali, Flores, Komodo, Sumbawa. Aktif
di malam hari, ular ini memangsa tikus, kadal, kodok.
Di Indonesia, kasus gigitan ular berbisa
masih tinggi. Bahkan, menempati urutan ke dua setelah HIV/AIDs dan kanker.
Menurut World Health Organization
(WHO), ada 5 juta kasus gigitan ular di dunia per tahun. Sekitar 2,7 juta
digigit ular berbisa. Sebanyak 81.000-138.000 gigitan ular menyebabkan kematian,
dan 400.000 kecacatan.
Bersama dokter Tri Maharani, Aji
mengenalkan berbagai jenis ular berbisa di Indonesia dan teknik penanganan
gigitan ular berbisa yang benar versi WHO terbaru. Sekitar 60 orang dari
pelatih, pembina Pramuka Yogyakarta mengikuti kegiatan yang berlangsung Sabtu,
18 Mei lalu, di Kompleks Bumi Perkemahan Taman Tunas Wiguna, Babarsari, Sleman.
Ular berbisa
“Ular adalah predator alami beberapa hewan
yang merugikan atau hama seperti tikus. Ular ikut menjaga keseimbangan
ekosistem,” kata Aji. Bahkan, beberapa
ular adalah pemangsa ular lain seperti king cobra (Ophiophagus hannah), dan
ular welang (Bungarus fasciatus). Keduanya, berbisa tinggi.
Dia menyarankan, untuk tak membunuh ular
meski berbahaya dan berbisa. Ular biasa menyerang manusia kalau merasa
terganggu. Kalau bertemu ular, cukup lakukan STOP (silent, thinking, observation dan prepare). Jangan panik, atau malah memprovokasi.
Empat langkah itu dijabarkan sebagai
bersikap mematung, sambil meneliti apakah berbisa atau tidak, memperhatikan
lingkungan sekitar dan mencari alat bantu, serta mempersiapkan langkah lanjutan.
Beberapa jenis ular berbisa lain yang
sering dijumpai di Indonesia antara lain, king cobra. Ia banyak ditemui di
daerah kering, karst, seperti di pesisir selatan Jawa, misal, Pacitan,
Sukabumi, Gunung Kidul, Malang, sisi selatan. Panjang satwa melata ini bisa
sampai enam meter dan termasuk diurnal atau aktif di siang hari. Ciri khasnya, saat terganggu akan menaikkan
kepala sambil mengembangkan kulit di sekitar leher disertai bunyi desis keras.
Ular welang kerap ditemui di persawahan,
perkebunan, bahkan rumah penduduk, termasuk nokturnal atau aktif di malam hari.
Ciri khas, corak cincin melingkar penuh, dan ekor buntet atau seperti
terpotong.
Berbeda dengan ular weling (Bungarus candidus) dengan cincin
terputus, bagian perut berwarna putih, dan ekor runcing.
“Ular tanah banyak dijumpai di Gunung
Kidul. Juga di Kalimantan. Sering kasus ular tanah menggigit manusia di kebun
teh di Jawa Barat,” katanya.
Warna kulit cenderung coklat, dengan corak
pola segitiga. Warna kulit demikian membuat ular ini tersamar di semak belukar.
Saat terancam lehern membentuk huruf S dan siap mematuk.
Ular berbisa lain yang perlu diwaspadai
adalah ular picung (Rhabdophis
subminiatus). Disebut demikian karena warna kulit mirip buah picung.
Sebutan lain adalah Pudak Bromo di Jawa, ular matahari di Jakarta, atau ular
merah di Kalimantan. Warna tubuh dominan kecokelatan, namun memerah di sekitar
leher.
“Ini berbisa dan beracun. Satu-satunya
jenis ular yang punya kelenjar bisa dan beracun. Kalau bisa itu masuk lewat
inject, kalau racun kesentuh saja sudah keracunan. Jadi memegang ular ini harus
hati-hati, karena pegang kepalanya bisa keracunan.”
Jenis ular berbisa lain, adalah kobra atau
ular sendok. Di antara puluhan kobra, ada dua endemik Indonesia, yaitu Naja sputatrix (sendok Jawa) dan Naja sumatrana (sendok Sumatera).
“Keduanya menyemburkan bisa, jadi bukan
cairan ludah. Banyak dijumpai di sawah, kebun. Merupakan predator alami tikus.
Kobra Sumatra karakter lebih agresif.”
Jenis ular berbisa lain yang sering
ditemukan di Indonesia adalah ular cabe (Calliophis
bivirgata). Ciri khas, kepala dan ekor berwarna merah. Akhir-akhir ini,
kata Aji, banyak ditemukan kasus gigitan ular cabe. Ada juga ular laut, bisa
juga amat mematikan. Ciri khas, ekor membentuk dayung.
Keluarga viper banyak ditemukan di
Indonesia. Ciri khas, antara lain gigi taring panjang. Warna cantik kadang
dianggap tak berbahaya hingga orang asal pegang, akhirnya jadi korban, satu
contoh, wagler, banyak ditemukan di Sumatera, dan Kalimantan.
Resolusi WHO
Pada Kamis, 23 Mei lalu, WHO mengumumkan
langkah global mengurangi kasus gigitan ular yang selama ini dianggap neglected tropical desease (NTD), atau
penyakit tropis yang terabaikan. Sehari berikutnya, kata Tri Maharani,
Indonesia sebagai anggota WHO membuat resolusi serupa untuk Indonesia.
Indonesia, kata Maha, panggilan akrabnya,
termasuk spesial di dunia terkait kasus gigitan ular. Selain jumlah kasus
banyak, namun tidak ada laporan resmi, juga karena spesies sama namun venom
(bisa ular) beda. Data yang dikumpulkan
dari 2012-2018, gigitan ular di Indonesia, ada 135.000 kasus, dibanding
HIV/AIDs 199.000 kasus, dan kanker 133.000.
“Di luar negeri, mungkin dengan jenis ular
sama tidak mematikan, di Indonesia bisa sebaliknya. Karena geografi juga
menentukan venom ular. Antivenom yang dibeli dari Thailand, misal, belum tentu
bisa dipakai di Inonesia.” Selain itu,
bentuk negara kepulauan dengan rentang wilayah luas, membuat tantangan
tersendiri bagi penyelamatan korban dan distribusi antivenom. Ditambah
keberagaman jenis ular yang mendiami wilayah Indonesia, dengan karakteristik
venom yang beraneka pula.
“King cobra sangat tinggi kasus di
Thailand. Tahun 2016, tidak ada korban jiwa. Indonesia tahun sama 36 jiwa.
Tahun 2017, meningkat jadi 45 jiwa, 2018 sebanyak 47 jiwa, dan 2019 sampai Mei
sudah 33 jiwa. Sampai akhir tahun ini jadi berapa?” kata Maha.
Kondisi inilah, membuat berbagai pihak
harus menganggap gigitan ular sebagai hal penting. Bukan hanya pemerintah,
kalangan medis, pemerhati satwa, juga transportasi terkait distribusi venom.
“Di kurikulum keperawatan ini terabaikan,
karena ini penyakit tropis yang terabaikan. Kami memang diajari sedikit tentang
gigitan hewan. Bukan salah dokter dan perawatnya, tapi salah kurikulum.”
Tangani gigitan dan
bisa ular
Jatuh banyak korban karena penanganan
keliru akibat gigitan ular membuat dia bertekad menyelamatkan lebih banyak
orang. Lebih dari tujuh tahun Maha banyak meluangkan waktu menangani kasus
gigitan ular. Pada akhir pekan, dia hampir selalu berada di luar kota untuk
edukasi dan membantu pengobatan gigitan ular.
Maha, akhirnya jadi satu-satunya ahli dari
Indonesia bahkan Asia untuk menulis pedoman WHO penanganan kasus gigitan ular
yang terbit 2016.
“Obat tradisional tidak bisa mengeluarkan
venom di tubuh. Apalagi pakai batu hitam, keris, tidak bisa. Disilet, dihisap,
atau diikat juga tidak bisa. Justru yang diikat sering kemudian harus
diamputasi.”
Menurut dia, WHO punya riset panjang
sebelum akhirnya menemukan, venom tidak lewat pembuluh darah, tetapi melalui
kelenjar getah bening. Jadi, dengan mengeluarkan darah dari luka gigitan atau
mengikat dengan asumsi mencegah venom menyebar akan sia-sia.
“Caranya, lebih sederhana, yaitu dibuat tak
bergerak. Otot yang bergerak hanya akan mempercepat reaksi. Dulu, efek gigitan
ular dibuat empat grade. Kini, WHO hanya dua, yaitu fase lokal dan sistemik.
Kalau fase lokal masih bisa diselamatkan dengan imobilisasi. Fase lokal itu
tanda-tandanya bengkak di daerah gigitan, nyeri, dan pembengkakan kelenjar
getah bening.”
“Kalau sudah sistemik, yaitu merusak organ,
misal, gagal ginjal, gagal napas, gagal jantung, harus memakai antivenom.”
Jadi, katanya, jika tergigit ular berbisa,
pertolongan pertama menurut WHO, pertama, pindahkan korban ke tempat aman.
Kalau ular masih menggigit, usir ular dengan kayu. Kalau tergigit ular laut,
korban dipindah ke daratan agar tak tenggelam. Lepaskan perhiasan sekitar luka
gigitan seperti cincin, gelang, jam tangan, kalung yang bisa menyebabkan luka
baru karena pembengkakan.
Kedua, imobilisasi korban atau dibuat tidak
bergerak sepenuhnya. Lalu ditandu untuk segera dibawa ke tempat layanan
kesehatan. Jangan pakai torniquet. Mengikat dengan kain medis disarankan hanya
oleh tenaga kesehatan. Hindari mengobati dengan jamu, cara tradisional, bahkan
klenik yang tak terbukti menolong. Bisa ular, katanya, adalah protein yang
hanya bisa ditawar dengan serum anti bisa ular.
(Nuswantoro)
SUMBER:
https://www.mongabay.co.id/2019/06/18/tergigit-ular-berbisa-berikut-ini-rekomendasi-who/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar